Kamis, 07 Februari 2008

Kitab Ulangan

Kitab Ulangan

  1. Pendahuluan.

Kitab Ulangan ini merupakan kitab kelima dari kitab Pentateukh, yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Kitab ini merupakan kitab yang berisi kata-kata terakhir Musa kepada bangsa Israel. Diantara kitab-kitab Pentateukh yang lain, kitab Ulangan ini mempunyai keunikan sendiri. Oleh karena itu penulis merasa tertarik ketika mempelajari dan mencoba untuk memaparkan keunikan dan permasalahan-permasalahan mengenai kitab Ulangan ini.

  1. Isi.

  1. Judul.

Kitab Ulangan di dalam masyarakat Yahudi, dikenal sebagai “Inilah perkataan-perkataan” atau hanya “Perkataan-perkataan” saja, seperti yang terdapat di dalam pasal 1:1, namun kitab ini juga mempunyai judul lain yaitu “Salinan Hukum Ini” yang terdapat dalam pasal 17:18. Sedangkan dalam bahasa Inggris kitab ini diberi judul “Deuteronomy” yang diambil dari LXX yang keliru menerjemahkan ucapan “Salinan Hukum Ini” sebagai “Hukum yang kedua”1, karena kitab ini berisi ikhtisar dari hukum yang telah diberikan di gunung Sinai, beserta dengan penjelasan hukum tersebut kepada generasi yang baru dari orang Israel, sebab mereka belum lahir atau belum dewasa saat pemberian hukum yang pertama kali.

  1. Problematika dalam Kitab Ulangan.

  1. Waktu Penulisan.

Permasalahan kitab Ulangan yang pertama yaitu mengenai tarikh Ulangan, yang merupakan pembicaraan yang tak putus-putus. Ada begitu banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai tarikh Ulangan ini. Salah satunya adalah teori yang dikembangkan oleh Wellhausen yang mengatakan bahwa kitab Ulangan ini (yang dia batasi hanya sampai inti pasal 12-26) ditulis oleh seorang nabi yang merampainya pada tahun 622 sM, dan tujuannya adalah untuk pembaruan dalam hidup keagamaan dan secara khusus menghancurkan bukit-bukit pengorbanan dan memusatkan peribadatan di Yerusalem.2

Namun demikian penulis berkeyakinan bahwa kitab ini ditulis pada tahun 1400 sM,3 setelah bangsa Israel keluar dari tanah Mesir pada tahun 1450 sM. Tempat penulisan kitab ini juga dengan jelas diungkapkan dalam pasal 1:5, yaitu di tanah Moab.

  1. Latar Belakang Penulisan.

Masalah yang kedua yaitu mengenai kepenulisan Musa dalam kitab Ulangan. Dimana ada ahli-ahli yang berpendapat bahwa kitab Ulangan ini tidak ditulis oleh Musa. Namun demikian penulis berpendapat bahwa tetap Musa-lah yang menuliskan kitab ini dengan menyajikan fakta yang diungkapkan oleh Kitab itu sendiri (berkaitan dengan latar belakang penulisan kitab ini dan kuatnya pengaruh Musa sebagai seorang pemimpin bagi bangsa Israel).

Berikut ini fakta yang diungkapkan dalam kitab itu sendiri. Setelah selama 40 tahun bangsa Israel mengembara di padang gurun sampai generasi pertama yang keluar dari Mesir meninggal semuanya yaitu generasi yang tidak taat kepada hukum Allah dan menolak untuk memasuki tanah Kanaan, kecuali Yosua dan Kaleb. Mereka yang tinggal sekarang adalah generasi yang kedua, dan Allah memimpin generasi ini kembali lagi ke Kadesy.4 Mereka melanjutkan perjalanan melewati Edom, dan berkemah di Moab, untuk menunggu perintah akhir dari Allah untuk memasuki dan menduduki tanah Kanaan yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka.5

Karena generasi yang kedua ini masih asing dengan hukum Allah, sebab mereka belum lahir atau belum dewasa waktu pemberian hukum yang pertama kali. Mereka diingatkan akan bahaya-bahaya yang dapat menyebabkan mereka menjauh dari Allah saat menduduki tanah Kanaan. Oleh sebab itu maka perlu bagi Musa untuk mengulangi kembali tentang hukum Allah dan memberikan amanat yang berupa nasehat-nasehat, dorongan dan peringatan kepada generasi yang kedua ini sebelum menduduki tanah Kanaan.

Disini penulis melihat bahwa kitab ini ditulis pada saat kehidupan yang digambarkan dalam kitab ini sedang berlangsung, karena di dalamnya banyak berisi petunjuk-petunjuk langsung / pengulangan perintah-perintah Allah kepada bangsa Israel. Selain itu tidak mungkin ada pemimpin yang memiliki kharisma seperti Musa yang mampu untuk memimpin dan menasihati bangsa Israel yang terkenal dengan tegar tengkuk.

3. Catatan kematian Musa

Masalah yang ketiga yaitu mengenai catatan kematian Musa dalam pasal 34, apakah ditulis oleh Musa sendiri atau oleh orang lain, masalah ini masih berkaitan dengan masalah kepenulisan Musa. Mereka yang berpendapat bahwa catatan kematian Musa ini ditulis oleh orang lain, karena mereka menganggap bahwa tidak mungkin Musa menulis mengenai kematiannya sendiri. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa catatan kematian Musa ditulis oleh Musa sendiri karena mereka melihat Ulangan 34 ini memiliki gaya sastra yang sama dengan kitab Pentateukh yang lain dan mungkin saja bahwa Musa dipimpin oleh Roh Kudus untuk menulis kisah kematiannya sendiri. Dalam hal ini penulis berkeyakinan bahwa Musa sendiri-lah yang menuliskan kematiannya, dengan pendapat bahwa bisa saja Allah memberikan inspirasi kepada Musa untuk mencacat tentang hal itu ( bandingkan dengan peristiwa Kejadian, di mana Musa juga tidak terlibat di dalamnya). Selain itu akan sangat sulit menerima kesatuan kitab ini, bila kitab ini ditulis oleh orang selain Musa (karena pola yang sama bisa diterapkan pada kitab-kitab yang lain)

C.Tujuan Penulisan.

Tujuan penulisan kitab Ulangan ini yaitu untuk mengingatkan kembali umat Israel akan perbuatan-perbuatan besar yang telah dilakukan oleh Allah, sebagai kesetiaan-Nya pada janji yang telah dibuat-Nya kepada nenek moyang mereka dan agar mereka beriman dan taat kepada hukum-hukum yang telah Allah berikan kepada mereka.6

D.Struktur Kesusasteraan.

Struktur kitab Ulangan ini, secara garis besar terdiri dari 3 amanat Musa yang diberikan kepada bangsa Israel saat itu, di tanah Moab. Yaitu sebagai berikut:7

Prakata (Ul 1:1-5)

Amanat pertama: perbuatan Allah (Ul 1:6 – 4:40)

Ringkasan sejarah firman Allah (Ul 1:6 – 3:29)

Kewajiban-kewajiban Israel terhadap Allah (Ul 4:1 – 40)

Penunjukan kota-kota Perlindungan (Ul 4:41 – 43)

Amanat kedua: hukum Allah (Ul 4:44 – 26:19)

Syarat-syarat perjanjian (Ul 4:44 – 11:32)

Prakata (Ul 4:44 – 49)

Dasa Titah (Ul 5:1-21)

Pertemuan dengan Allah (Ul 5:22-33)

Perintah yang utama (Ul 6)

Tanah perjanjian dan masalah-masalahnya (Ul 7)

Pelajaran dari perbuatan-perbuatan Allah dan respons Israel

(Ul 8:1 – 11:25)

Pilihan yang diperhadapkan kepada Israel (Ul 11:26-32)

Hukum (Ul 12 – 26)

Mengenai ibadat (Ul 12:1 – 16:17)

Mengenai jabatan (Ul 16:18 – 18:22)

Mengenai para penjahat (Ul 19)

Melakukan perang suci (Ul 20)

Hukum-hukum lainnya (Ul 21 – 25)

Pengakuan liturgis (Ul 26: 1-15)

Nasihat-nasihat terakhir (Ul 26:16-19)

Klausule dokumen (Ul 27:1-10)

Kutukan dan berkat (Ul 27:11 – 28:68)

Amanat Ketiga: Pembaruan Perjanjian dengan Allah (Ul 29:30)

Tujuan penyataan Allah (Ul 29)

Dekatnya Firman Allah (Ul 30:1-14)

Pilihan yang diperhadapkan kepada Israel (Ul 30:15-20)

Kata penutup dan nyanyian Musa (Ul 31:1 – 32:47)

Kematian Musa (Ul 32:48 – 34:12)

Dan struktur ini merupakan dasar bagi kita untuk dapat mempelajari kitab Ulangan ini. Dan yang uniknya bahwa struktur kesusasteraan kitab Ulangan ini mempunyai kemiripan dengan ciri-ciri utama sebuah pakta, khususnya pakta-pakta orang Het pada millenium kedua. Dengan perbandingan sebagai berikut:

Perbandingan Antara Kitab Ulangan dengan Pakta-Pakta Bangsa Het8

Ulangan Urutan Normal Pakta Bangsa Het

Prolog Historis (1-4) Prolog Historis

Ketetapan-ketetapan (5-26) Ketetapan-ketetapan

Berkat-berkat (27-30) Saksi-saksi

Kutuk-kutuk Kutuk-kutuk

Saksi-saksi (31-34) Berkat-berkat


Dan walaupun agak berbeda dalam perempatan bagian “saksi-saksi, kutuk, berkat” struktur kesusasteraan yang mirip ini dapat membuktikan tanggal penulisan kitab Ulangan ini yaitu pada masa Musa.9

E.Keunikan Kitab Ulangan.

1. Keunikan kitab Ulangan ini selain struktur kesusasteraannya menurut penulis juga terletak di dalam unsur teologis yang memuat pengajaran tentang:

  • Syema. Syema merupakan pengakuan iman (kredo) bangsa Israel kepada Allah yang terdapat di dalam pasal 6:4-5. Menurut W.S. LaSor dkk, dalam Survei Perjanjian Lama 1 mengenai Syema ini, mereka mengatakan bahwa:

Pengakuan iman itu menyatakan keesaan dan keunikan Tuhan Allah Israel, khususnya dalam hubungan-Nya dengan umat-Nya. Kata yang dipergunakan untuk esa adalah angka satu, sehingga arti harfiahnya ialah ‘Tuhan Allah kita, Tuhan, satu.’ Agaknya ayat ini tidak bertujuan mengajarkan monoteisme secara khusus, karena di situ dikatakan bahwa Allah adalah satu, bukan bahwa hanya ada satu Allah.”10


Jadi, jelas bahwa syema ini menyatakan keesaan dan keunikan Tuhan Allah, dan bahwa Allah itu adalah satu.

  • Allah. Konsep teologis tentang Allah di dalam kitab Ulangan banyak memuat tentang sifat-sifat Allah. Yang menyatakan bahwa Ia adalah Tuhan yang Mahabesar dan Mahakuasa (10:14-17), Api yang menghanguskan dan Allah yang cemburu (4:24), Tuhan yang setia, dan memegang janji-Nya (7:9). Dan juga kitab ini memuat tentang karya Allah dalam sejarah kehidupan bangsa Israel yang telah membebaskan mereka dari Mesir dan memimpin mereka selama mengembara di padang gurun. Yang mana hal ini merupakan bagian dasar dari pandangan kitab ini, dan menjadi dasar bagi Allah untuk menuntut kesetiaan umat Israel kepada Dia.

  • Pemilihan Israel. Pemilihan bangsa Israel oleh Allah merupakan gagasan yang mendasari / meresapi kitab Ulangan ini. Sebab di dalam kitab Ulangan ini terdapat 30 kali kata kerja bahasa Ibrani bakhar yang berarti “memilih”.11 Pemilihan bangsa Israel ini tidak terlepas dengan pemanggilan Allah kepada Abraham dalam Kej 12:1-3 dan janji-Nya yang ditujukan kepada keturunan Abraham, di mana Allah memanggil Abraham untuk membentuk dari keturunannya suatu bangsa yang baru untuk karya penyelamatan-Nya yang baru, yaitu suatu umat yang kudus.

  • Perjanjian. Ini merupakan tema pokok dalam kitab Ulangan, dimana yang uniknya perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel ini dimulai dengan kasih (7:8). Dan meskipun bangsa Israel gagal untuk memenuhi kewajiban mereka, Allah tetap tidak membatalkan perjanjian-Nya dengan mereka. Namun walaupun begitu, bangsa Israel juga tetap berkewajiban untuk memenuhi syarat-syarat perjanjian itu, bukan karena Allah berutang kepada mereka melainkan oleh karena umat Israel adalah umat Allah.12

  • Kristus. Gambaran tentang Kristus dalam kitab Ulangan terdapat pada pasal 18:15 yang merupakan pernyataan Musa kepada bangsa Israel di mana dia berkata yaitu bahwa seorang nabi akan dibangkitkan oleh Tuhan bagi mereka dari tengah-tengah mereka, dan mereka harus mendengarkan dia. Jeane Ch. Obadja dalam bukunya Survei Ringkas Perjanjian Lama, mengatakan:

..., Musa sebagai tipe Kristus, adalah figur satu-satunya, disamping Kristus yang memenuhi tiga jabatan: sebagai nabi (34:10-12), imam (Kel 32:31-35), dan raja (walaupun Musa bukan raja, ia pernah hidup layaknya keturunan Firaun, dan telah bertindak sebagai pemimpin/penguasa Israel (33:4-5), sekaligus menjadi hakim bagi mereka.”13


2. Keunikan yang kedua bila dibandingkan dengan Injil, kitab Ulangan ini agak mirip dengan Injil Yohanes. Karena kitab Ulangan ini agak berbeda dengan kitab Pentateukh yang lain sama seperti Injil Yohanes yang agak berbeda dengan injil sinoptis, karena banyak memberikan informasi yang berbeda dengan kitab yang lain. Namun sesungguhnya merupakan satu kesatuan.

3. Keunikan yang ketiga yaitu bahwa kitab Ulangan ini merupakan kitab Pentateukh yang paling banyak dikutip dalam perjanjian baru, dibandingkan dengan kitab-kitab Pentateukh lainnya.

  1. Kesimpulan.

Jadi berdasarkan informasi di atas, kitab Ulangan ini merupakan kitab Pentateukh yang unik, ditulis oleh Musa. Isi kitab ini sarat dengan konsep teologis yang dalam yang membuat kitab ini perlu untuk dipelajari.. Dan walaupun seakan-akan berdiri sendiri namun kitab Ulangan merupakan satu kesatuan dengan kitab Pentateukh yang lainnya.


1 Dennis Green, Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1984, hlm. 68.

2 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II, Jakarta: YKBK, 2002, hlm. 521.

3 Budiono Djoeng, Diktat Kitab Pentateukh, hlm. 32.

4 Ibid., hlm. 32.

5 W.S. LaSor, D.A. Hubbard, F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama, Jilid 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 247.

6 Budiono Djoeng, Diktat Kitab Pentateukh, hlm. 32.

7 W.S. LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama, Jilid 1, hlm. 248 dengan beberapa perubahan yang bersumber dari Andrew E. Hill, John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2001, hlm. 299.

8 Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang: Gandum Mas, 1998, hlm. 292.

9 Andrew E. Hill, John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, hlm. 226.

10 Hlm. 253.

11 W.S. LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama, Jilid 1, hlm. 255.

12 Ibid., hlm. 258.

13 Surabaya: Momentum, 2004, hlm. 21.

Catatan Kematian Musa

CATATAN KEMATIAN MUSA


Masalah mengenai catatan kematian Musa ini merupakan masalah yang terdapat di dalam Kitab Pentateukh, yaitu di dalam kitab Ulangan. Mengenai masalah ini ada pendapat yang menyatakan bahwa catatan kematian Musa ini dicatat atau ditulis oleh Musa sendiri. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa catatan kematian Musa ini tidak ditulis oleh Musa melainkan oleh orang lain, dan ditambahkan dalam kitab Pentateukh.

Para ahli yang berpendapat bahwa catatan kematian Musa ditulis oleh orang lain karena mereka melihat adanya petunjuk-petunjuk mengenai adanya kemungkinan penambahan setelah Musa dalam kitab Pentateukh.

Beberapa petunjuk tersebut ialah:

  1. Bilangan 12:3, sebuah ayat yang melukiskan Musa sebagai orang yang sangat lembut hatinya di atas muka bumi ini. Bagaimana mungkin Musa memuji dirinya begitu tinggi jika ia sungguh-sungguh seorang yang begitu lemah lembut hatinya? Mereka menganggap bahwa ayat ini ditambahkan oleh seorang editor yang memasukkan ayat itu sebagai sebuah komentar sisipan. Dan editor yang mereka anggap itu kemungkinan adalah Yosua yang dipimpin Roh Kudus untuk menambahkan ayat itu berdasarkan Yosua 24:26.1

  2. Kejadian 36:31 menyebut “ raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada seorang raja memerintah atas orang Israel. ” Hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kini sudah ada seorang raja yang memerintah Israel. Karena Saul adalah raja pertama Israel, maka dikemukakan suatu tanggal penulisan sesudah tahun 1000 sM. Orang dapat saja mengatakan bahwa Musa mengetahui akhirnya Israel akan memiliki sorang raja (bdg. Kej. 17:6; Ul. 17:14-20), tetapi mungkin hal ini terasa dipaksakan. Mungkin sekali seorang editor yang kemudian menambahkan catatan ini selama periode kerajaan.2

  3. Dalam kitab Ulangan pasal 31 penulis mencatat bahwa “ Hukum Taurat ” dituliskan oleh Musa dalam suatu kitab dan diberikannya kepada imam-imam, dan diperintahkannya mereka membacakan kitab itu kepada umat Israel (31:9-13). Selanjutnya dia perintahkan supaya “ Kitab Hukum taurat ” diletakkan di samping tabut perjanjian sebagai kesaksian (31:24-26). Maka cocok sekali dengan berita ini, bahwa penguasa yang kemudian harus membuat salinan Kitab ini, yang disalin dari kitab yang dimiliki oleh para imam (17:18 dab). Dari sini agak kelihatan, bahwa kitab yang ditulis oleh Musa tidak memuat pasal 31-34; memang kedua pasal terakhir jelas ditambahkan sesudah kematiannya.3

Namun ada juga tokoh-tokoh yang menganggap bahwa Musa sendirilah yang menulis kisah kematiannya, dan di antaranya termasuk 2 orang tokoh yaitu Filo dan Yosefus yang menerima hal tersebut.4 Bahkan ada seorang tokoh yang bernama Andreas Bodenstein (1480-1541) yang menganjurkan bahwa jika bukan Musa yang menulis kisah kematiannya dalm Ulangan pasal 34, maka itu berarti ia juga tidak menulis sesuatu pun dari Pentateukh itu, karena Ulangan 34 memiliki gaya sastra yang sama dengan bagian-bagian lain dari Pentateukh.5

Dan menurut saya sendiri, bahwa catatan kematian Musa ini ditulis oleh Musa sendiri. Alasan saya selain karena Ulangan 34 memiliki gaya sastra yang sama dengan bagian-bagian lain dari Pentateukh, saya menganggap bahwa bisa saja Musa diinspirasi oleh Roh Kudus mengenai hal kematiannya sendiri. Karena semua penulis Alkitab diinspirasi oleh Roh Kudus di dalam menulis Firman Allah, begitu pula dengan Musa di dalam menulis kitab Pentateukh. Jadi, Musa mencatat/menulis semua yang diinspirasikan oleh Roh Kudus pada dirinya termasuk mengenai kematiannya.

Dan kalau seandainya catatan mengenai kematian Musa ditulis oleh orang lain, entah Yosua, Eleazar, Ezra, atau orang yang lain, berarti ada petunjuk bahwa kitab Pentateukh ini tidak semuanya ditulis oleh Musa dan itu akan sangat mempengaruhi kepenulisan Musa terhadap seluruh kitab Pentateukh. Sedangkan menurut saya bahwa kitab Pentateukh ditulis oleh Musa secara keseluruhan.

1 Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang: Gandum Mas, 1998, hal. 74-75.

2 W. Lasor dkk, Old Testament Survey, yang dipadukan dengan Ronald Youngblood, Faith of Our Fathers, oleh Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, hal. 75.

3 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, Jakarta: YKBK, 2003, hal. 522.

4 Ibid., hal.522.

5 Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, hal. 78.

Orang-Orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat

I. PENDAHULUAN

Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat merupakan salah satu sekte utama yang terdapat pada masa Tuhan Yesus, selain kaum Saduki dan Eseni. Mereka merupakan kaum yang paling besar pengaruhnya dibanding dengan sekte-sekte yang lain pada masa itu. Mereka berusaha memahami Hukum Taurat dan mencoba untuk melakukannya. Namun seringkali mereka berkonflik dengan Tuhan Yesus, salah satu konflik yang sering terjadi khususnya berkaitan dengan pemahaman Hukum Taurat. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk menyusun informasi mengenai permasalahan ini dan menyimpulkan apa sebenarnya yang terjadi.


II. Latar Belakang.

  1. Orang Farisi.

Farisi diambil dari kata kerja “Parash” yang berarti “memisahkan”.1 Namun dalam hal apa mereka memisahkan diri kurang jelas. Seorang ahli yang bernama Kohler menjelaskan nama farisi tersebut dengan arti “orang yang memisahkan diri”, atau menjaga jarak/menjauh dari orang-orang atau hal-hal yang najis, dalam hal untuk mencapai tingkat kekudusan dan kebenaran yang diperlukan bagi orang yang ingin bersekutu dengan Allah.2

Golongan farisi merupakan golongan minoritas. Pada pemerintahan Herodes jumlah mereka kurang lebih 6000 orang. Kebanyakan orang farisi merupakan rakyat biasa, mereka berasal dari lapisan menengah bagian bawah tetapi hidup sedikit lebih makmur. Mereka sungguh-sungguh berusaha memberlakukan Hukum Taurat dengan ketat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Mereka ini adalah pemimpin agama, dan para Ahli Taurat maupun imam dapat ditemukan di antara mereka.3 Ada 7 macam farisi yang fanatik, yaitu:4

  1. Farisi “Pundak”, yang memamerkan perbuatan baiknya di hadapan orang lain bagai menyandangkan sebuah selempang di pundaknya.

  2. Farisi “Tunggu Sebentar”, yang meminta orang lain untuk menunggu sebentar agar mereka dapat melakukan sebuah perbuatan baik.

  3. Farisi “Buta”, yang menabrak tembok hingga memar karena menutup mata agar tidak melihat seorang wanita.

  4. Farisi “Ulekan”, yang berjalan dengan menundukkan kepala agar tidak melihat pemandangan yang menggoda.

  5. Farisi “Tukang Hitung”, yang selalu menghitung perbuatan baiknya untuk melihat apakah mereka sudah mengimbangi kesalahan-kesalahannya.

  6. Farisi “Yang Takut Pada Allah”, yang seperti Ayub, benar-benar saleh.

  7. Farisi “Yang Mencintai Allah”, seperti Abraham.

Meskipun banyak di antara kaum Farisi yang begitu sadar akan keharusan untuk menaati hukum hingga sedetail-detailnya sehingga terkesan legalistik, namun banyak pula di antaranya yang benar-benar saleh dan baik. Tidak semuanya munafik. Misalnya Nikodemus yang mengikuti Kristus dengan tulus selama pelayanan-Nya di dunia dan Yusuf dari Arimatea yang mengurus penguburan jenazah Yesus.


  1. Ahli-Ahli Taurat.

Ahli Taurat sebenarnya merupakan suatu jabatan, bukan orang yang dengan penuh kesetiaan memelihara Hukum Taurat.5 Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam mempelajari Hukum Musa (Taurat) dan kegiatan utama mereka ialah mempelajari Taurat. Mereka memelihara hukum lisan dan dengan setia mewariskan Kitab-Kitab Suci Ibrani kepada murid-murid dan mengharapkan murid-murid menaatinya dengan sungguh-sungguh.

Salah satu tugas utama Ahli Taurat ialah menetapkan isi Taurat tertulis (tora sye-bikhtav). Mereka menetapkan bahwa isinya adalah 613 perintah, 248 positif dan 365 negatif. Selanjutnya mereka, “memasang pagar” sekelilingnya, artinya, menafsirkan dan melengkapinya sedemikian rupa, sehingga tak mungkin orang melanggarnya secara kebetulan atau karena ketidaktahuan.6



Ada 3 macam fungsi Ahli Taurat:7

  1. Memelihara Hukum Taurat. Mereka memelihara Hukum Taurat dengan menjadi pembela, terutama pada zaman Helenistik, karena keimaman telah bobrok. Mereka menyampaikan keputusan-keputusan hukum tak tertulis yang telah muncul dalam usaha mereka menerapkan hukum Musa pada kehidupan sehari-hari. Mereka menyatakan bahwa hukum lisan ini lebih penting dari hukum tertulis (Mrk 7:5). Oleh usaha-usaha mereka agama cenderung merosot menjadi formalitas tanpa perasaan.

  2. Mengumpulkan banyak murid dan mengajar mereka tentang hukum. Para murid diwajibkan untuk mempertahankan bahan-bahan yang diajarkan dan menyampaikan ajaran itu tanpa perubahan. Mereka mengajar di Bait Allah (Luk 2:46; Yoh 18:20). Ajaran mereka seharusnya diberikan tanpa bayaran (demikianlah Rabi Zadok, Hillel, dll), tapi mungkin mereka dibayar juga (Mat 10:10; I Kor 9:3-18; pernyataan Paulus mengenai haknya), dan bahkan beruntung oleh kedudukan mereka yang terhormat itu (Mrk 12:40; Luk 20:47).

  3. Mereka disebut “pengajar-pengajar hukum”, karena mereka dipercayai untuk urusan-urusan hukum sebagai hakim-hakim di Mahkamah Agama (Mat 22:35; Mrk 14:43,53; Luk 22:66; Kis 4:5). Untuk pelayanan mereka di Mahkamah Agama mereka tidak dibayar. Karena itu mereka harus memperoleh biaya hidup dari sumber atau cara lain, jika mereka tidak memiliki kekayaan pribadi yang cukup.

III. Ajaran Orang-Orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat.

A.Hukum lisan.

Mereka menerima Hukum Taurat tertulis dan Hukum Taurat tak tertulis. Keduanya itu dianggap sebagai setingkat dan sama berwibawa. Hukum Taurat tidak tertulis dikembalikan juga kepada Musa. Dengan jalan itu mereka menyatakan bahwa mau tetap setia kepada tradisi nenek moyang mereka yang berpangkal pada Musa di Gunung Sinai.



B.Kehidupan yang akan datang.

Mereka mempercayai immoralitas jiwa manusia (tidak dapat mati), yang akan dijelamakan kembali (artinya, menjiwai tubuh yang akan bangkit kembali), dan kuasa dari takdir (artinya, Allah).8 Hal ini tentunya berbeda dengan golongan Saduki yang tidak mempercayai akan hal ini.

C.Kemanusiaan.

Kaum Farisi memperjuangkan persamaan hak-hak manusia.9 Tidak seperti kaum Saduki yang aristokrat dimana mereka banyak membela dan berjuang untuk kepentingan mereka sendiri. Kaum Farisi senang mendapat penghormatan karena mereka dianggap peduli pada kemanusiaan, dan sebagai perwakilan dari sebuah pergerakan demokratis.

D.Malaikat.

Kaum Farisi menerima sebuah hirarki yang berkembang mengenai malaikat-malaikat dan iblis-iblis10. Keyakinan Kaum Farisi ini dianggap diambil dari Babilonia dan Persia.

E.Persepuluhan.

Mereka menekankan persepuluhan dan menolak membeli makanan dari atau makan di rumah non Farisi, karena mereka takut bahwa atas makanan tersebut tidak lebih dahulu diberlakukan persepuluhan.11 Persepuluhan merupakan beban yang harus dibayar, karena dengan membayar persepuluhan yang lengkap adalah bukti ketaatan mereka kepada Allah. Mereka sangat menekankan bahwa hal-hal yang paling kecil harus diperhitungkan dulu dengan membayar persepuluhan.

F.Mesias.

Mereka mengharapkan akan didirikannya pemerintahan atau kerajaan Allah, dan pengharapan ini sering dihubungkan dengan datangnya seorang tokoh yang mewakili Allah untuk menjalankan pemerintahan-Nya.12 Tokoh seperti itu tentulah raja, diurapi oleh Allah dan dari suku Daud dan orang Yahudi menganggap bahwa Mesias akan memulai pergolakan politik dan membebaskan negeri mereka dari penjajahan Roma.

G.Allah

Mereka sangat menjunjung tinggi Allah yang monoteisme. Menurut mereka Allah itu Esa yaitu Allah yang telah menyelamatkan dan memelihara umat Israel.

IV. Orang-Orang Farisi dan Tuhan Yesus.

Di dalam Alkitab banyak dicacat tentang konflik antara Tuhan Yesus dengan orang-orang farisi dan ahli taurat. Tuhan Yesus banyak mengkritik gaya hidup keagamaan mereka yang cenderung legalistik, munafik. Oleh karena sikap Tuhan Yesus yang demikian mereka begitu membenci dan menentang Tuhan Yesus. Berikut ini beberapa penyebab orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menentang Yesus:

  1. Karena Yesus mengajar dengan penuh kewibawaan (Mat 7:28-29) dan Yesus mengutuk formalisme lahiriah yang mereka kembangkan.13

  2. Karena waktu itu jumlah mereka sedikit sehingga memerlukan dukungan rakyat banyak. Jadi, saat mereka melihat kemampuan Yesus mengumpulkan orang banyak di sekitarnya, mereka menjadi gentar.14

  3. Karena kecaman Tuhan Yesus terhadap mereka yang hanya melakukan persepuluhan, tetapi yang terpenting dalam Hukum Taurat mereka abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan (Matius 23:23). Dan lagipula mereka melakukan semuanya itu dengan motivasi yang salah yaitu hanya untuk dilihatkan kepada orang banyak supaya mereka dipuji. Jadi motivasi mereka dalam melakukan Hukum Tauratlah yang dikecam oleh Tuhan Yesus, sehingga mereka menjadi sangat membenci Tuhan Yesus.

  4. Karena pengakuan Yesus yang mengakui bahwa Dia adalah Mesias. Sebab bagi orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat, Mesias adalah seorang tokoh yang diurapi oleh Allah yang menjadi seorang raja dan akan memulai pergolakan politik serta membebaskan negeri mereka dari penjajahan Roma. Jadi saat mereka mendengar pengakuan Yesus bahwa Ia adalah Mesias, maka mereka menjadi sangat membenci dan menentang-Nya karena mereka mengetahui bahwa Yesus adalah anak seorang tukang kayu miskin yang menurut mereka tidak mungkin merupakan seorang Mesias.


V. KESIMPULAN

Bahwa sesungguhnya orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat adalah orang-orang yang mencoba untuk melakukan Hukum Taurat dengan baik dan benar, namun pada pelaksanaannya banyak mengalami penyimpangan. Dan mereka melakukan Hukum Taurat tersebut dengan motivasi yang salah dan tanpa pengenalan akan Hukum Taurat dengan benar, sehingga mereka jatuh ke dalam legalistik dan hal yang demikian Tuhan Yesus sangat menentang.

1 Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1985, hal. 132

2 James Hastings, ed., “Pharisees”, Encyclopedia of Religion and Ethics, vol IX, New York: Charles Scribner’s Sons, 1917, hal. 832

3 J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White Jr, “Orang Farisi”, Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 2, Malang: Gandum Mas, 2001, hal. 1057

4 Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, hal. 132

5 J.I Packer, Merrill C. Tenney, William White Jr, “Orang Farisi”, Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 2, Malang: Gandum Mas, 2001, hal. 1057

6 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, hal. 300

7 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, hal. 454

8 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I, hal.29

9 Merrill C. Tenney, “Pharisees”, The Zondervan Pictorial Encyclopedia of The Bible, Vol. IV, Grand rapids Michigan: The Zondervan Publishing House, 1978, hal. 749

10 Ibid., hal. 749

11 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I, hal. 300

12 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II, hal. 590

13 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II, hal. 455

14 J.I. Packer, Merrill C. Tenney, William White Jr, Dunia Perjanjian Baru, Surabaya: Gandum Mas, hal. 104

DOA BAPA KAMI

DOA BAPA KAMI

(Matius 6: 9-13)


  1. Pendahuluan.

Kitab Matius merupakan kitab yang berisikan laporan tentang kehidupan Yesus. Kitab ini ditulis untuk orang-orang yahudi dengan tujuan supaya mereka yakin bahwa Yesus adalah Mesias.

Kitab ini terdiri dari 28 pasal. Dan pembahasan khusus pada tulisan ini adalah pasal 6: 9-13 yang berisikan Doa Bapa Kami. Doa ini merupakan doa yang diajarkan secara langsung oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam perkembangan sejarah gereja, Doa Bapa Kami sering digunakan di dalam liturgi ibadah maupun sebagai bahan pengajaran/katekisasi.1

Para Bapa-Bapa gereja juga menaruh perhatian yang cukup serius mengenai doa ini. Tertulian mengungkapkan bahwa Doa Bapa Kami merupakan Brevarium Totius Evangelii (ringkasan seluruh injil).2 Selain itu Cyrill menganggap bahwa Doa Bapa Kami sebagai Mystagogical Catechical Lectures (bahan pengajaran/katekisasi sebelum seseorang dibaptis).3

Oleh sebab itu saya mencoba untuk membahas Doa Bapa Kami ini, agar mempunyai pemahaman yang baik dan benar tentang doa ini.

  1. Kritik Teks.

  1. Originalitas teks.

Doa Bapa Kami ditulis dalam dua bagian Injil yaitu Matius dan Lukas. Di mana masing-masing penulis mengkalimatkannya dengan kalimat yang sedikit berbeda.4 Hal ini menimbulkan permasalahan manakah di antara keduanya yang lebih original, atau kitab mana yang mengutip kitab yang satunya.

Berkaitan dengan masalah tersebut saya memperhatikannya dari konteks sosial yang berbeda. Dalam konteks Matius Doa Bapa Kami termasuk dalam rangkaian Khotbah di bukit, di mana sebagian besar isi dari khotbah ini adalah pengajaran pola hidup yang baik dan benar. Sedangkan dalam Lukas Doa Bapa Kami ditempatkan dalam konteks permohonan para murid untuk diajar bagaimana berdoa (Lukas 11:1). Jadi, kedua catatan Doa Bapa Kami yang ada di Matius dan Lukas sama-sama original dan tidak ada yang saling mengutip. Karena dengan pendengar dan lingkungan yang berbeda tentunya pembahasan pengajaran Doa Bapa Kami juga kemungkinan berbeda.

  1. Kaitan dengan doa orang Yahudi.

Permohonan-permohonan dalam Doa Bapa Kami dianggap memiliki kepararelan dengan doa-doa orang Yahudi pada masa itu, seperti doa Kaddish,5 dan Didache 8:2.6 Hal ini menimbulkan permasalahan apakah Tuhan Yesus menggunakan elemen-elemen dalam doa-doa orang Yahudi sebagai bahan pengajaran dalam Doa Bapa Kami. Cullman mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus memang mempergunakan materi doa orang Yahudi, tetapi dengan pemahaman baru yang lebih dalam.7 Contohnya berkaitan dengan pemanggilan Allah sebagai “Bapa/Abba”, untuk menunjukkan kedekatan antara Allah dengan umat-Nya. Kata “roti” secara literal berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari

B. Penggunaan kata “makanan” dalam terjemahan LAI.

Penggunaan kata makanan dalam terjemahan LAI, menimbulkan permasalahan karena kata yang digunakan dalam teks aslinya yaitu ς yang berarti roti. Namun secara literal kata “roti” dapat berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari.8 Sehingga dalam terjemahan Indonesia bisa diganti dengan kata “makanan”. Bapa-bapa gereja menafsirkan bahwa roti ini tidak hanya berbicara tentang masalah kebutuhan fisik tetapi “roti” dipandang juga sebagai firman Tuhan,9 dengan mengacu pada penambahan kata epiousios yang sulit untuk ditafsirkan. Kata epiousios sering ditafsirkan sebagai berikut:10 (1) sesuatu yang dibutuhkan untuk eksistensi, (2) sesuatu yang dibutuhkan untuk hari ini, (3) sesuatu yang dibutuhkan untuk bekal, (4) sesuatu yang dibuthkan untuk masa depan. Kata ini mungkin berasal dari epi ten ousan hemeran yang bisa diterjemahkan “untuk hari ini”, dengan demikian lebih ke arah orientasi kebutuhan sehari-hari, karena kata epiousion sejajar dengan semeron sehingga secara literal dapat diartikan “berikan kami roti untuk hari ini”.11

  1. Struktur Doa Bapa Kami.

Berikut ini struktur Doa Bapa Kami:

Pembukaan (Matius 6: 9ab)

Permohonan “Mu” (Matius 6:9c-10)

Dikuduskanlah nama-Mu

Datanglah kerajaan-Mu

Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga

Permohonan “Kami” (Matius 6: 11-13)

Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya

Dan ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami

Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat

Doxologi.

  1. Latar Belakang dan Gramatika.

Doa Bapa Kami diajarkan Tuhan Yesus dalam nuansa kehidupan religius masyarakat Yahudi. Masyarakat Yahudi pada masa itu juga memiliki banyak model doa dan doa mereka biasanya dalam bentuk formula yang diajarkan oleh para Rabi.12 Namun demikian adalah Doa Bapa Kami adalah doa yang eksklusif, karena di dalamnya ada penyebutan kata Bapa yang jarang/bahkan tidak ada dalam doa-doa orang Yahudi pada masa itu.13 Sebab bagi orang Yahudi sebutan Allah sebagai Bapa memiliki makna yang sangat dalam karena menunjuk kepada Allah yang Maha Tinggi,14 sehingga sebutan ini jarang dipakai dalam doa-doa mereka.

  1. Pembukaan.

Doa ini diawali dengan perintah “karena itu berdoalah demikian”. Kata “demikian” dapat diartikan “dengan cara ini/berikut”,15 yang kemudian digabung dengan kata “berdoalah” dengan kasus “present imperatif” yang menyatakan suatu aktivitas yang terus menerus dibiasakan. Jadi perintah awal ini bisa diartikan sebagai berikut “biasakanlah berdoa dengan cara ini/berikut.”

  1. Pemahaman “tiga permohonan-Mu”.

  1. Permohonan “Mu” pertama (agiastheto to onoma sou).

Permohonan ini dimulai dengan kata agiastheto yang berasal dari kata kerja agiazo yang memiliki beberapa arti sebagai berikut:16 (a) bila berkaitan dengan benda maka berarti benda tersebut dipisahkan untuk tujuan ritual (Keluaran 29:27; Matius 23:17,19; I Timotius 4:5). (b) bila berkaitan dengan pribadi hal ini berarti menyucikan atau mempersembahkan (Keluaran 28:41; I Korintus 6:11). Bila kata ini diterapkan pada Allah maka berarti memperlakukan Allah secara kudus dan terhormat.17 Ketika Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya untuk menguduskan nama Allah, berarti mereka harus mengakui nama Allah yang kudus, dan memuliakan nama Allah.

  1. Permohonan “Mu” kedua (heltheto he basileia sou)

Kata basileia secara formal menunjukkan keadaan natur atau kondisi dari raja yang berkuasa. Allah adalah raja yang berkuasa atas ciptaan-Nya.18 Permohonan kedua ini didasari atas pemikiran pengharapan eskatologis PL tentang kerajaan Allah. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan kepada para muridnya tentang pengharapan penggenapannya sambil mengakui bahwa kerajaan tersebut telah datang dan berdoa untuk penyataannya di masa yang akan datang.

  1. Permohonan “Mu” ketiga (genetheto to thelema sou os en ourano kai epi ges)

Dalam permohonan ini Tuhan Yesus menekankan tentang kehendak Bapa. Kata thelema muncul sebanyak 62 kali dalam PB dan dipakai menunjuk pada:19 (1) kehendak Kristus yang ditinggikan (Kis 21:14; Efesus 5:17); (2) kehendak setan (I Timotius 2:26); (3) kehendak manusia. Di mana dalam teks ini kata “kehendak” mengacu pada kehendak Bapa yang di surga dan pada rencana ilahi yang disingkapkan dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan para muridnya untuk sepenuhnya mengikatkan diri pada Allah selama mereka hidup karena kedaulatan Allah yang mengikat baik di bumi dan di surga.20

  1. Pemahaman tiga permohonan “Kami”.

  1. Permohonan “kami” pertama (ton arton hemon ton epiousion dos hemin semeron).

Kata epiousios yang berarti pada hari berikutnya/esok hari,21 memiliki dimensi eskatologis. Jadi permohonan ini juga bisa diartikan “berikanlah kami roti untuk esok hari”. Dengan demikian permohonan “roti” ini mengandung aspek untuk masa sekarang yaitu pemenuhan hidup sehari-hari, tetapi juga masa yang akan datang yaitu “roti eskatologi/perjamuan”.

  1. Permohonan “Kami” kedua (kai ophes hemin ta opheilemata hemon os kai hemeis aphekamen tois opheiletais hemon).

Permohonan ini memiliki hubungan dengan permohonan sebelumnya karena diawali dengan kata kai (dan). Namun demikian dalam permohonan ini ada masalah berkaitan dengan penggunaan kata aphekamen dalam kasus aorist yang berarti kami telah mengampuni. Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa pengampunan yang Allah berikan tergantung akan usaha kita mengampuni orang lain terlebih dahulu. Ada beberapa penafsiran berkaitan dengan hal ini. (1) Jeremias menafsirkan bahwa Matius sebenarnya menggunakan bentuk present perfect Aramaik yang dapat berarti sebagai bentuk present, sehingga klausa ini dapat diartikan “seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah”.22 (2) selain itu pengampunan ini menyangkut aspek eskatologis yang terimplikasi dalam kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.23 Sehingga dari sini penulis melihat bahwa orientasi dari permohonan ini adalah kebutuhan akan pengampunan dari Allah yang mencakup untuk kepentingan hari ini dan masa yang datang, sehingga hal ini menjadi dasar bagi kita untuk mengampuni orang lain.

  1. Permohonan “kami” ketiga (kai me eiseneghes hemas eis paipasmon alla rusai hemas apo tuo ponerou).

Dalam permohonan ini ada kalimat negatif yaitu me dan aorist subjuntif eisenegkes yang secara keseluruhan dapat diartikan sebagai bentuk larangan. Yaitu satu bentuk permohonan kepada Allah agar jangan membawa ke adalam pencobaan. Pencobaan (peipasmon) secara literal dipahami sebagai situasi yang sulit untuk menguji kesetiaan seseorang.24 Tetapi dalam kasus ini peipasmon tidak ada artikelnya sehingga apakah menunjuk kepada kesukaran biasa atau tidak.25 Dan menurut penulis peipasmon tidak hanya menunjuk pada kesukaran yang biasa saja untuk saat ini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Dalam teks dijelaskan peipasmon datang dari tou ponerou yang menggunakan bentuk netral sehingga berarti jahat, tetapi bisa juga dalam kasus maskulin berarti “yang jahat”. Dengan demikian permohonan yang Tuhan Yesus ajarkan ini dimaksudkan untuk memohon kebebasan dari pencobaan yang iblis lakukan kepada Bapa.

  1. Doksologi (oti sou estin he basileia kai dunamis kai he doxa eis tous aionas amen)

Bentuk doksologi ini semacam ini tidak ditemukan dalam teks-teks yang tua seperti BDZ.26 Matius menggunakan doksologi dengan mengacu bahwa doksologi adalah satu bentuk umum dari doa-doa Yahudi pada masa itu. Doksologi ini memiliki makna yang dalam berkaitan dengan permohonan kepada Allah sebagai pemelihara hidup, pengampun, dan juga sebagai pelindung.

  1. Kerangka Khotbah.

Doa Bapa Kami.

  1. Pengagungan Allah dalam hubungannya dengan manusia.

  1. Kebapaan Allah yang merupakan ekspresi kedekatan Allah dengan anak-anak-Nya.

  2. Pribadi Allah yang kudus sebagai dasar bagaimana kita sebagai anak-anak-Nya berperilaku dan bertindak dalam hidup ini.

  3. Kekuasaan Allah yang bersifat mutlak dan mulia di mana kita di dalamnya bisa turut mengambil bagian dalam kerajann-Nya.

  4. Kehendak Allah yang bersifat mengikat, di mana sebagai orang-orang percaya kita harus sepenuhnya menundukkan diri dan taat kepada-Nya.

  1. Permohonan kebutuhan yang penting dalam kehidupan manusia yang mencakup:

  1. kebutuhan pengampunan dosa dari Allah yang menjadi dasar bagi pengampunan orang lain.

  2. Kebutuhan hidup sehari-hari dan masa yang akan datang.



1 William White Jr, “The Lord’s Prayer” in Merryl C. Tenney, ed, The Zondervan Pictorial Encyclopedia of The Bible vol.3, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1978, hlm. 972.

2 Ulrich Luz, A Commentary Mathew 1-7, Minneapolis: Ausburg, 1989, hlm. 372.

3 Joachim Jeremias, The Lord’s Prayer, Philladelphia: Fortress Press, 1980, hlm. 1.

4 Ibid., hlm. 6.

5 Dalam permohonan doa Kaddish juga ditemukan permohonan sentral, yang juga diungkapkan Tuhan Yesus dalam Doa Bapa Kami, yaitu “Datanglah Kerajaan-Mu” dan juga penunjukkan Allah dengan “Bapa Kami yang di Surga”. Rudolf Schnackenburg, All Things Are Possible To Belivers, Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 1995, hlm. 68.

6 Dalam Didache 8:2 menambahkan bagian akhir teks dengan perkataan hoti sou estin he basileia kai (sebab kepunyaan-Mu lah kerajaan dan ………..). William White Jr. The Lord’s Prayer, hlm. 972.

7 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, Minneapolis: Fortress Press, 1995, hlm. 41.

8 Gerhard Kittel, ed, Theology Dictionary of The New Testament vol. 1, Grand Rapids Michigan: WM.B Eerdmans Publishing Company, 1978, hlm. 477.

9 D.A Carson, Matthew, hlm. 171.

10 William White Jr, The Lord’s Prayer, hlm. 975.

11 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, Dallas: Waco Books Publishers, 1993, hlm. 149-150.

12 Peter Wongso, Makna Kekinian Doa Bapa Kami, Malang: SAAT, 2000, hlm. 13.

13 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, hlm. 41.

14 G.T Manley “Allah” in Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1995, hlm. 35.

15 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Exegetical Key to The Greek New Testament, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1998, hlm. 13.

16 Blass, Debruner & Funk, A Greek Grammar of The New Testament and Other Early Christian Literature, Chicago: Chicago UP, 1961, hlm. 9.

17 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Lingustic and Exegetical Key to The Greek New Testament, hlm. 13.

18 Dalam keseluruhan PB ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah raja yang berkuasa dimana konsep ini berpusat pada ungkapan “Kerajaan Allah” atau “Kerajaan Surga”. Donald Gutrie, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 56.

19 M Limbeck dalam Θελεμα Horst Balz & Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of The New Testament vol. II, Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1981, hlm. 137.

20 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 148.

21 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Key New Testament, hlm. 13.

22 D.A Carson, Matthew, hlm. 174.

23 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 150.

24 Ibid., hlm. 151.

25 Ulrich Luz, A Commentary Matthew 1-7, hlm. 384.

26 Davies & Dale C Allison, The International Critical Commentary Matthew, Edinburg: T & T Clark, 1988, hlm. 615.

Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan

Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan


I. Pendahuluan.

Peristiwa pembantaian terhadap orang Kanaan merupakan salah satu masalah khusus yang terdapat dalam kitab Yosua. Dimana dalam kitab Yosua ini, bangsa Israel seolah-olah digambarkan seperti orang yang tak kenal belas kasihan. Yang dengan sadis membantai orang-orang Kanaan, baik tua maupun muda, baik laki-laki maupn perempuan. Tanpa meninggalkan seorang pun untuk dibiarkan hidup.

Sehingga permasalahan ini menimbulkan perdebatan khusus dalam bidang kemanusiaan. Bahkan menimbulkan perdebatan antara para ahli, yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa Allah dalam PL berbeda dengan Allah dalam PB. Oleh karena itu saya merasa tertarik dan mencoba untuk membahas masalah pembantaian terhadap orang Kanaan dalam tulisan ini.

II. Teks dan Konteks.

A. Teks.

Sebagai langkah awal untuk membahas permasalahan ini, maka saya merasa perlu untuk membahas teks Alkitab yang berkaitan dengan masalah pembantaian ini.

Ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan menuju ke tanah perjanjian yaitu Kanaan, di bawah kepemimpinan Musa. Allah memberikan suatu perintah kepada mereka dalam kitab Ulangan pasal 7:7-11, dan 20:16-18 tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap orang Kanaan. Seperti “menghalau, ... memukul, ... menumpas, jangan mengadakan perjanjian, jangan mengasihani, ...dsb.

Dan perintah ini merupakan perintah yang secara langsung diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel. Dimana dalam perintah ini disebutkan secara jelas siapa-siapa saja yang harus dibantai, yaitu tujuh bangsa1 yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada bangsa Israel.

Sehingga untuk lebih memahami masalah etis pembantaian ini, saya menggunakan pendekatan dari perspektif Allah dan perspektif sejarah. Yang dikaitkan dengan konteks budaya pada masa itu. Dan oleh karena itu, akan lebih dimengerti bila juga dibahas kondisi geografi dan kebudayaan orang Kanaan pada masa itu.

B. Konteks Sejarah.

1. Kondisi Geografis.

Kanaan merupakan suatu wilayah dari daerah pantai Siria-palestina, yang secara khusus disebut Fenisia.2 Daerah ini merupakan daratan yang subur, karena tanah setengah lingkaran yang sempit3 ini menerima cukup embun untuk bercocok tanam. Dan merupakan daratan yang menjadi jembatan antara benua Asia dan Afrika.4

Sehingga karena terletak di lokasi yang strategis, daerah ini memiliki banyak kelebihan dan keuntungan yang dapat dikembangkan dalam hal perdagangan, kesenian, dan kesusasteraan yang tidak lepas dari pengaruh bangsa lain yang ada di sekitar mereka.

2. Budaya Kanaan.

  1. Kesenian dan Kesusasteraan.

Kesenian dan kesusasteraan orang Kanaan diperkaya oleh kesenian dan kesusasteraan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka.5 Dimana kesusasteraan orang Kanaan ini berisikan syair kepahlawanan Baal-dewa mereka.6

  1. Agama.

Kehidupan agama orang Kanaan tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang menyembah ilah-ilah palsu. Dimana mereka mengembangkan agama pantheon7, yang dikepalai oleh El. Dan dalam kuil-kuil dewa orang Kanaan tersebut, terdapat perempuan-perempuan yang mempersembahkan dirinya untuk menjadi pelacur di dalam kuil tersebut. Dan ini merupakan bagian dari agama orang Kanaan yang tidak dapat dipisahkan.8 Dan seperti ciri-ciri agama penyembah berhala pada umumnya, yang mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi mereka -seperti binatang atau bahkan manusia. Ada kemungkinan orang Kanaan juga melakukan hal ini.9 Sehingga dalam artikelnya mengenai Kanaan, K.A.Kitchen mengatakan:10

“Setelah menyadari sikap agama Kanaan itu maka menjadi makin jelaslah, bahwa secara jasmani dan rohani kekasaran-kekasaran kebudayaan Kanaan yang sedang mengalami keruntuhan itu dan kemunculan Israel dengan tugasnya yang khusus dan khas itu, tak dapat berada bersama-sama.”





III. Pembahasan Teks.

Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa saya menggunakan 2 perspektif untuk membahas masalah ini, yaitu:

  1. Perspektif Allah.

1. Kedaulatan Allah.

Di dalam kedaulatan-Nya, Allah telah menciptakan dunia ini beserta segala isinya. Dan memelihara hasil ciptaan-Nya tersebut. Dan di dalam kedaulatan-Nya, Ia menjalankan pemerintahan-Nya, kehendak-Nya dan rencana-Nya di bumi ini. Dan ini berarti:

  1. Dunia beserta segala isinya adalah milik Allah. Dan Ia mempunyai hak penuh atas segala ciptaan-Nya. Dan bila dikaitkan dengan tanah Kanaan, yang merupakan ciptaan Allah. Berarti bahwa tanah Kanaan adalah milik Allah dan Allah mempunyai hak penuh atas tanah tersebut. Sehingga Ia dapat memberikan tanah itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.11 Dan berhak menentukan bagaimana semestinya tanah itu dipergunakan menurut wewenang moral-Nya.12

  2. Allah dapat memakai siapa dan apa saja untuk menyatakan kehendak-Nya dan menjalankan rencana-Nya di bumi ini. Sehingga dapat dipahami bahwa bangsa Israel dipakai oleh Allah dalam kedaulatan-Nya, untuk menyatakan kehendak-Nya kepada orang Kanaan.13 Yang berupa penghukuman kepada mereka, karena dosa yang mereka perbuat di hadapan Allah. Akan tetapi ini tidak berarti Allah pilih kasih, karena bangsa Israel pun tidak terlepas dari prinsip universal ini.

Dan sehubungan dengan kehendak Allah yang berupa perintah pemusnahan terhadap orang Kanaan. Denis Green berpendapat bahwa perintah tersebut mempunyai 2 segi, yaitu:14

    • Sebagai tugas pelayanan bagi umat Israel sebagai alat Tuhan untuk menghukum kejahatan orang-orang Kanaan tersebut. (Ulangan 9:4)

    • Dan, sebagai penjagaan terhadap kemurnian iman bangsa Israel.

2. Karakter Allah.

Allah kita selain adalah Allah yang berdaulat dan bijaksana, Ia juga adalah Allah yang kudus, benar, adil, dan kasih. Dan karakter yang ada dalam diri Allah ini adalah satu kesatuan dan tidak akan pernah berubah sampai selama-lamanya. Dan ini berarti setiap keputusan yang Dia buat pasti merupakan keputusan yang adil, benar, bijak, dan tidak akan bertentangan dengan diri-Nya sendiri.15 Sehingga bila dikaitkan dengan keputusan untuk memusnahkan orang Kanaan, maka keputusan itu pasti sesuai dengan karakter Allah tersebut. Dimana keputusan ini merupakan konsekwensi dari dosa yang telah diperbuat orang Kanaan. Mengenai hal ini David M. Howard, Jr berpendapat:16

“Mengenai dosa, pertama harus kita catat bahwa dari perspektif Allah semua manusia telah berdosa dan kurang kemuliaan di hadapan-Nya (Roma 3:23) karena itu patut menerima hukuman berat (Roma 6:23). Sampai tahap ini, bangsa Kanaan hanya menerima hukuman seperti yang harus ditanggung semua manusia, dan jika ada bangsa-bangsa tertentu yang dikasihani itu hanya karena anugrah Allah semata.”

Dan ini menunjukkan bahwa untuk menilai benar atau salah setiap keputusan yang dibuat Allah bukanlah suatu hal yang mudah. Karena tidak dapat dinilai berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etis manusia.

3. Janji Allah.

Salah satu aspek yang harus diperhatikan dari perspektif Allah ialah perjanjian Allah kepada Abraham –nenek moyang bangsa Israel. William Van Gemeren berpendapat bahwa perjanjian Allah kepada Abraham mengandung 4 janji, yaitu:17

  1. Keturunan.

  2. Tanah.

  3. Kehadiran Tuhan.

  4. Berkat bagi bangsa-bangsa.

Sehingga ini menunjukkan bahwa penaklukan tanah Kanaan itu merupakan penggenapan dari janji-janji Allah kepada Abraham. Karena Allah telah berjanji untuk memberikan tanah kepada mereka. Dan mengenai pembantaian terhadap orang Kanaan dari perspektif Allah ini, Walter Kaiser menggambarkannya demikian:18

Sama seperti seorang ahli bedah tidak ragu-ragu mengamputasi anggota badan yang membusuk, sekalipun harus mengerat sejumlah daging yang sehat, demikianlah Allah harus melakukan yang sama. Ini bukanlah berbuat kejahatan agar muncul yang baik, ini adalah menyingkirkan kanker yang bisa menginfeksi seluruh masyarakat dan akhirnya menghancurkan sisa yang masih baik itu.”


Sehingga dengan membantai orang Kanaan, kekudusan dan kemurnian bangsa Israel tetap terjaga. Dan bangsa Israel dapat menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Sebab orang Kanaan selain berdosa kepada Allah, mereka juga mencoba menjerat bangsa Israel untuk mengikuti kebiasaan agama mereka.19

  1. Perspektif Sejarah.

Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Isarel merupakan sebuah fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Walaupun ada beberapa ahli yang menganggap bahwa penaklukan tanah Kanaan tidak seperti yang digambarkan dalam Alkitab.20 Karena menurut mereka yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana bangsa Israel memasuki negeri itu secara perlahan-lahan. Dan gambaran dalam pembantaian orang Kanaan tersebut hanya merupakan khayalan penulis-penulis yang kemudian. Yang telah memutarbalikkan berbagai kejadian sejarah.

Dan untuk memahami masalah ini dari perspektif sejarah, maka kita perlu memperhatikan kembali kebudayaan pada masa itu. Dimana orang Kanaan pada masa itu mempunyai budaya perang yang berkembang di antara mereka. Karena hal itu menunjukkan kekuatan dewa-dewi yang mereka sembah. Dan inilah yang dijumpai bangsa Israel ketika memasuki tanah Kanaan.

Dan yang masih erat kaitannya dengan budaya perang tersebut, yaitu kebiasaan pada masa itu. Dimana “pengkhususan”21 semacam itu merupakan hal yang biasa terjadi dalam agama pada masa itu. Karena banyak bangsa di Timur Tengah kuno yang mempunyai kebiasaan untuk mempersembahkan manusia dan harta benda serta tawanan kepada dewa-dewa mereka.22

Sehingga kebiasaan itu dapat menolong kita untuk memahami mengapa bangsa Israel tidak menganggap pembantaian orang Kanaan itu salah.


IV. Kesimpulan.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian pendahuluan, bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan permasalahan yang serius karena menimbulkan etis. Maka dari apa yang telah dipaparkan dalam paper ini, saya berkesimpulan bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan sebuah tindakan yang berbentuk kasuistik. Sehingga tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan hal yang serupa di kemudian hari.

Karena pada akhirnya, setelah bangsa Israel menetap di Kanaan, tidak pernah lagi tindakan seperti itu dilanjutkan kembali. Sebab pemusnahan itu dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah kepada bangsa Israel dalam mengadakan perang suci, yang terdapat dalam Ulangan 20. Dimana dari pembatasan seperti itu -dan dari PB- kita dapat mengetahui bahwa prinsip pemusnahan tidak boleh dijalankan dalam perang manapun juga. Tetapi hanya pada saat itu dalam sejarah, pemusnahan menjadi cara Allah untuk mengajar umat-Nya.23

Namun bila dikaitkan dengan Perjanjian Baru. Maka seolah-olah ada sesuatu pertentangan yang muncul antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dimana dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus mengajarkan prinsip kasih dalam hidup orang percaya, terutama kepada musuh-musuh kita. Dan perang merupakan suatu problem yang cukup serius dalam perspektif Perjanjian Baru.24

Mengenai hal ini, Tremper Longman III berpendapat:25

“Tuhan dari Perjanjian Lama bukan seorang figur yang sembarangan dan gelap, dan Yesus bukan seluruhnya bunga, terang, dan kebaikan yang lemah lembut. Yahweh tidak pernah berubah-ubah atau dengan sembrono menghukum seseorang. Sebaliknya kesaksian dari Perjanjian Lama adalah konsisten bahwa Ia adalah ‘Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya’ (Kel. 34:6). Ia menghukum hanya setelah pemberontakan yang berulang-ulang dan peringatan yang terus menerus.”


Jadi, sesungguhnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak pernah bertentangan. Melainkan justru terdapat kesinambungan/kontinuitas26 dari dua perjanjian tersebut.

Dan untuk memahami kesinambungan/kontinuitas ini lebih baik lagi, maka harus dilihat dari prinsip penting yang merupakan pusat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Yaitu prinsip kasih.27 Dimana taurat Musa maupun ajaran Tuhan Yesus semuanya ditopang oleh kasih. Karena keduanya memerintah orang saleh untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati (band. Ul. 6:5 dan Mat. 22:37), dan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri (band. Im. 19:18 dan Mat. 22:39). Sehingga oleh karena itu, berperang dalam Perjanjian Lama demi kebenaran dan keadilan untuk membela Allah dan sesama manusia, merupakan ungkapan kasih dan tidak bertentangan dengan etika Yesus.

DAFTAR PUSTAKA

Cairns, I.J. Tafsiran Kitab Ulangan pasal 1-11. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1997.


Craigie, Peter C. The Problem of War in The Old Testament. Grand Rapids,

Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986.

Djoeng, Budiono. Diktat Kitab-Kitab Sejarah. Surabaya: Unpublissed, 2005.


Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang:

Gandum Mas, 2001.


Green, Denis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang:

Gandum Mas, 1984.


Hill, Andrew & Walton, John. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,

2001.


Howard, David M. Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Malang:

Gandum Mas, 2002.


Kaiser, Walter. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.


Kaiser, Walter. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama. Malang; SAAT,

2001.


LaSor, W.S. dkk. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2004.


Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama. Malang: SAAT, 2000.


Packer, J.I. dkk. Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1. Malang:

Gandum Mas, 2003.

Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama.

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: YKBK, 2002.

1 Dafar penduduk asli Kanaan tidak selalu meliputi tujuh bangsa:

Kej. 15:19-21 mencatat 10 bangsa;

Kej. 10:15-18 mencatat 5 bangsa;

Kej. 3:8, 17 mencatat 6 bangsa;

Ul. 20:17 mencatat 6 bangsa;

Yos. 3:10 mencatat 7 bangsa; dsb.

Maksud pengarang kitab ini barangkali adalah menonjolkan jumlah “tujuh” sebagai jumlah bulat, dalam arti “segenap kekuatan bangsa-bangsa kafir”, yang harus mengalah di hadapan kuasa Tuhan. I. J. Cairns, Tafsiran kitab Ulangan 1-11, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 143.

2 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, (Jakarta: YKBK, 2002), hlm. 501.

3 Kanaan merupakan ujung bagian selatan dari wilayah yang dikenal sebagai tanah sabit yang subur. J.I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1, (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm. 352.

4 Andrew E. Hill, John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 75.

5 Bible Almanac 1, hlm. 353.

6 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.

7 Yaitu agama yang merupakan perkembangan dari bentuk politeistik, dimana mereka mengakui banyak dewa-dewi dan setan-setan. Dan menerima berhala-berhala tersebut dalam sebuah kuil. Bible Almanac 1, hlm. 177. Band. Dgn. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.

8 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.

9 Walaupun pada millenium ke-2 sM, pengorbanan manusia secara arkeologis belum dapat dipastikan. Akan tetapi bukti bahwa agama orang Kanaan memiliki sifat kebinatangan dan jasmani dalam tabiat manusia jelas dari naskah-naskah Ugarit dan naskah-naskah Mesir yang berasal dari bangsa Semit. Ibid., hlm. 503.

10 Ibid., hlm. 503.

11 Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2000), hlm. 167.

12 Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 57.

13 Band. Dgn, Walter C. Kaiser, Jr, Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, (Malang: SAAT, 2001), hlm. 119.

14 Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), hlm.76-78.

15 Budiono Djoeng, Diktat Kitab-Kitab Sejarah, (Surabaya: Unpublissed, 2005), hlm. 15.

16 Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama, (Malang:Gandum Mas, 2002), hlm. 98.

17 Diktat Kitab-Kitab Sejarah, hlm. 8.

18 Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, hlm. 119.

19 W.S. LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 292.

20 Bible Almanac 1, hlm. 254.

21 Kata Ibrani yang digunakan ialah Khérém, yang diterjemahkan “dikhususkan bagi Tuhan untuk dimusnahkan” (Yosua 6:17).

22 Pengantar Perjanjian Lama 1, hlm. 291.

23 William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 164-165.

24 Peter C. Craigie, The Problem Of War In The Old Testament, (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986), hlm. 11-12.

25 Memahami Perjanjian Lama, (Malang:SAAT, 2000), hlm. 65.

26 Kesinambungan atau kontinuitas yang dimaksud bukan dalam arti “menggantikan” atau “memperbaharui untuk meniadakan yang lama”, tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Kalvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory, Veritas Vol. 4 No. 1, (Malang:SAAT, April 2003), hlm. 47.

27 Bible Almanac 1, hlm. 608.